Cerpen: Tatap kosong dan kerut wajah lelaki itu tak lagi memancarkan cahaya. Watak kerasnya tak lagi memiliki kekuatan apapun. Ia tinggal menunggu saat-saat untuk pulang. Saya jadi begitu iba ketika semua anaknya masih saja memiliki rasa takut luar biasa kepadanya. Sungguh, ia sudah tidak memiliki kekuatan apapun untuk marah, atau melempar bakiak ke tubuh kami seperti semasa kami kecil. Hidup baginya tinggal menunggu waktu, begitu ngungun dan sendirian. Seluruh sahabat seusianya satu persatu telah pergi. Tidak ada lagi tempat untuk menumpahkan seluruh kesepiannya atau ide-ide briliannya tentang hidup dan kehidupan. Aku jadi teringat ucapan ibu beberapa hari sebelum ia meninggalkan kami untuk selama-lamanya. ''Kalau Allah menghendaki saya harus pulang terlebih dahulu, jaga ayahmu. Jangan ada dendam atau kebencian. Memang begitulah watak ayahmu. Kamu harus ingat, bagaimanapun juga ia telah mempertaruhkan hidupnya untuk membesarkan dan memberikan kehidupan pada kalian semua, anak-anaknya.'' Antara ibu dan ayah sungguh jauh berbeda. Ibu adalah perempuan yang begitu sabar, setia dan memiliki kesadaran terhadap datangnya kematian. Ibu adalah perempuan yang mengerti benar arti sebuah cinta dan kehidupan. Tidak saja kepada anak-anaknya, tetapi juga Sang Khalik. Tasbih, mukena dan Alquran tidak pernah lepas dari genggamannya. Hidup bagi ibu adalah sebuah pengabdian, kepada Allah, ayah dan seluruh anak-anaknya. Tidak mengherankan bila perempuan itu selalu merasa was-was jika harus pulang kepada Sang Khalik mendahului ayah. ''Bukan ibu takut mati, tetapi ibu takut ayahmu bakal kesepian. Sebab, ibu punya perasaan kalian semua tidak akan mampu mendampingi ayah kalian.'' Saat itu saya hanya bisa menundukkan kepala. Saya jadi teringat masa kecil kami. Dari empat belas bersaudara, nyaris tidak ada satupun yang tidak merasakan tempelengan ayah, atau sakit karena diperlakukan sebagai 'musuh'. Ayah memang begitu keras, disiplin dan diktator. Namun, di antara wataknya itu sesungguhnya terselip sebuah kecerdasan yang luar biasa. Kecerdasan yang kemudian diturunkan pada anak-anaknya. Kadang ia seperti Leonardo da Vinci atau Einstein. Bahkan, walau lebih banyak seperti harimau, sering muncul cahaya Rumi dari sorot matanya. Pernah suatu kali ia bicara pada saya bagaimana harus menyikapi kehidupan, ''Hati yang bersih adalah cermin tanpa noda sehingga bisa menerima banyak sekali bayangan, atau pantulan. Yang bersih telah meninggalkan keharuman dan warna; setiap saat mereka dapat melihat keindahan tanpa halangan*. Maka hiduplah dengan hati, nurani dan tanpa kebencian.'' Begitulah kalau ayah sudah mulai berbicara soal hidup. Ia acapkali menghadirkan kata-kata orang bijak, tidak terkecuali Rumi atau yang lain. Ketika berbicara soal semesta, ia akan mengutip ayat-ayat Alquran, bahkan juga paranormal. Angan-angannya pun selalu membumbung tinggi. Semua keinginannya harus dituruti, termasuk mempekerjakan ibu untuk menghidupi seluruh anak-anaknya, sementara ia begitu sibuk dengan pikiran dan angan-angannya, sampai-sampai ia kehilangan kesadaran bahwa dalam hidup ini ada kehidupan yang wajib ditanggungnya, yaitu isteri dan anak-anaknya. Ia juga lupa akan hakekat cinta sejati dari seorang lelaki, terhadap ibu, anak-anaknya dan Sang Khalik. Ia pun tidak menyadari, gairah hidupnya yang keras dan meledak-ledak sesungguhnya telah melukai hatinya dan meluluhlantakakan harapan-harapannya. Terlebih lagi ketika ibu telah tiada. Ia tampak begitu kesepian. Setiapkali berhadapan dengan ayah, saya selalu teringat kepada ibu yang kini berada di pelukan Sang Khalik. ''Jangan ada dendam atau kebencian. Jangan sekali-kali meninggalkan ayahmu sendirian. Lihat saja hatinya. Ia memang keras, tapi sesungguhnya memiliki kecintaan kepada kalian. Jika ada rasa dendam, seharusnya ibulah yang paling mendendam. Tapi tidak. Jangan. Cintailah ayahmu seperti ibu mencintai kalian.'' Tubuh renta lelaki yang biasa kami pangil Ayah itu kini lebih banyak tergolek di pembaringan. Usia tuanya telah merenggut seluruh wataknya. Ia seperti kepompong, bukan untuk lahir kembali menjadi kupu-kupu yang indah, tetapi untuk pulang kepada yang memilikinya. Kadang-kadang aku mendengar ia menyebut nama Allah dan istighfar. Cahaya matanya seperti mengucapkan kata, ''Mari sayang, dekat-dekatlah dengan aku, maafkan ayahmu yang telah melukai hatimu.'' Tatapan itu acapkali membuat hati saya gemetaran, luka-luka hati saya seperti mengucurkan darah dan sakit. Tetapi, ketika di depan mata berkelebat wajah ibu, saya menangis dan merasa bersalah, lalu luka menjelma jadi luka-luka yang lain. Tidak. Tidak boleh ada rasa dendam sedikit pun di hati saya. Seperti ibu, walau lukanya lebih dalam, tidak secuil pun memiliki rasa dendam atau kebencian kepada ayah. Ketika masih muda dan kuat, ayah mengajarkan kepada kami tentang hidup dengan kekerasan, keterasingan dan keterpisahan serta penuh angan-angan. Sementara ibu mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada kami. Ketika mata ayah memancarkan api kemarahan, mata ibu memancarkan air dan menyiramnya hingga padam. Sehingga, ketika ibu pergi meninggalkan kami selama-lamanya, kami merasa kehilangan dan bertahun-tahun merindukan kehadirannya kembali. Setiapkali aku mengunjungi ayah, selalu menyempatkan melongok kamar ibu dan menatap wajahnya pada foto keluarga. Di wajahnya yang cantik dan lembut itu saya belajar betapa cinta itu mengalahkan segala kebencian, kedengkian, amarah dan dendam. Cinta yang memancar dari wajah ibu bagai samodra keindahan. Kalau sudah begitu kerinduan pun sirna. Wajah itu pun mampu mengajarkan kearifan. Hidup harus dijalani dengan kesungguhan dan kesadaran untuk ikhlas meninggalkan segala-galanya dan mengabdi pada cinta. Barangkali perasaan ayah sama dengan perasaan saya terhadap kepergian ibu sepuluh tahun yang lalu. Bahkan, mungkin luka yang dideritanya jauh lebih dalam. Apalagi, selama hidup bersama ibu, ayah memiliki ketergantungan besar kepada ibu yang senantiasa dilukai hatinya. Barangkali luka-luka hatinya itu kini menjadi beban paling berat bagi ayah. Kalau ibu yang paling tertindas saja selalu memaafkan, kenapa saya tidak? Kenapa saudara-saudara saya yang lain juga tidak? Saya merasakan, kadang ia merindukan kehadiran seseorang, juga anak-anaknya, yang terasa telah hilang dari kehidupannya. Ia begitu kesepian. Kalau saya menatapnya, tampak ada butir-butir kecil di antara cahaya matanya yang redup, Ia selalu bertanya bagaimana kabar Fuad, Zaim, Nur atau saudara saya yang lainnya. Kalau sudah begitu, akhirnya ia akan terdiam. Berhadapan dengan ayah sekarang, seharusnya bukan dendam atau kebencian yang kita tancapkan di dadanya. Tapi, sebuah cahaya cinta, atau belaian dengan ucapan dan hati yang bersih. Tidak lama, ya mungkin tidak lama lagi ia akan pulang kepada Sang Khalik menyusul ibu, dan itu pasti terjadi. Ia kini tidak mampu lagi mengepakkan sayap kegagahannya, atau menghunjamkan cahaya kemarahan kepada siapapun. Yang ia bisa hanya bergumam dalam pergulatan menuju akhir perjalanannya. Ia sudah sangat redup, ia seperti Lelaki Ngungun. |
Saturday, February 2, 2013
Lelaki Ngungun
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment