Saturday, February 2, 2013

hikmah jilbab

jilbab: Sebuah Kewajiban Bagi Kaum Muslimah!




Beberapa bulan yang lalu suasana di Australia cukup hangat. Bukan karena isu terorisme, ataupun isu isfun (Islam fundamentalis), tetapi karena perkataan Syaikh Tajuddin al-Hilali tentang perempuan yang tidak menutup auratnya. Lepas dari setuju atau tidak terhadap ucapan sang syaikh, realita yang kita hadapi di Australia adalah bahwa secara umum, perempuan tidak menutup auratnya.
Tapi sedihnya, ada segelintir Muslimah yang ikut-ikut cara berpakaian orang Aussie. Sehingga mereka ikut pakai mini skirts, see through t-shirts, tight pants, dst. Astaghfirullah! Ada juga sebagian Muslimah dimana saat mereka di Negara mereka masing-masing, mereka pakai kerudung dan jilbab, tapi saat mereka tiba di Australia, mereka melepaskan semua itu. Seolah-olah kerudung, jilbab, hanyalah sebuah kultur dan bukan merupakan perintah Allah SWT.
Padahal kita mengetahui bahwa menutup aurat termasuk kewajiban yang diatur oleh hukum syara’. Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (Qs. al-A’râf [7]: 26). Imam al-Qurthubi di dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (jld. 7, hal. 172) menyatakan; ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat.
Terkait dengan Muslimah, syara’ tidak hanya mewajibkan menutup auratnya, tetapi juga mengatur pakaiannya. Kewajiban wanita mengenakan busana Islami ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat (satru al-aurat). Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat seorang wanita keluar rumah atau pun wanita di dalam rumah bersama pria yang bukan muhrimnya maka syara’ telah mewajibkan kepada wanita untuk berjilbab. Pakaian jilbab yang diwajibkan tersebut adalah memakai khimar (kerudung), jilbab (pakaian luar) dan tsaub (pakaian dalam). Jika bertemu dengan pria yang bukan mahramnya atau keluar rumah tanpa menggunakan jilbab, meskipun sudah menutup auratnya, maka ia dianggap telah berdosa karena telah melanggar dari syara’.
Jadi dalam kehidupan umum, wanita Muslimah harus mengenakan tiga jenis pakaian sekaligus yaitu: 1) khimar (kerudung); 2) jilbab (pakaian luar) dan 3) tsaub (pakaian dalam). Berikut dibawah ini penjelasan detil dari kesimpulan yang ada diatas.
Aurat Wanita: Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Aurat dari segi bahasa adalah al-nuqshân wa asy-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara’, yang bermakna qabîh (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).[i] Imam ar-Razi, dalam kamus Mukhtâr ash-Shihâh (hal. 461), menyatakan, “‘al-aurat: sau’atu al-insân wa kullu mâ yustahyâ minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu).” Jumhur ulama bersepakat bahwa aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah SWT: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Menurut Imam ath-Thabari, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah “muka dan telapak tangan”.[ii] Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah Saw pun berpaling seraya berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu bila telah mencapai masa haid tidak patut ada bagian tubuh yang kelihatan kecuali ini dan ini. Beliau berkata demikian sambil menunjuk ke wajah dan kedua tangannya” [HR. Abu Dawud, 2/182-183 dan al-Baihaqi, II/226 dari Aisyah ra, hadits ini dinilai kuat oleh Imam al-Baihaqi dan Syaikh Albani).
Imam al-Qurthubi menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Menurut Imam an-Nasâfi, yang dimaksud dengan “al-zînah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-zînah” (perhiasan) di sini adalah “mawâdli’ az-zînah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”.[iii] Sedangkan Imam Ibn Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm (jld. 3, hal. 285), menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, “illa ma dzahara minhâ” diartikan muka dan kedua telapak tangan.
Khimar (Kerudung)
Perintah syara’ untuk mengenakan khimar bagi wanita yang telah baligh pada kehidupan umum terdapat dalam firman Allah SWT: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,” (Qs. an-Nûr [24]: 31). Ayat ini berisi perintah dari Allah SWT agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibn Mandzur di dalam kitab Lisân al-‘Arab (jld. 4, hal. 257) menuturkan; al-khimâr li al-mar’ah: al-nashîf (khimar bagi perempuan adalah al-nashîf [penutup kepala]). Ada pula yang menyatakan; khimar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[iv]
Ibn al-‘Arabi di dalam kitab Ahkâm al-Qur’ân (jld. 3, hal. 1369) menyatakan, “Jaib adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala. Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah SWT “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka.” Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”
Jilbab
Ada pun untuk mengenakan jilbab bagi wanita dalam kehidupan umum dapat kita perhatikan firman Allah SWT: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (Qs. al-Azhab [33]: 59).
Allah SWT memerintahkan Nabi Saw untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka). Sedangkan kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah ra: “Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah Saw menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.” [HR. Muslim].
Jilbab yang Disyaratkan
1. Menjulur ke bawah sampai menutupi kedua kakinya (tidak berbentuk potongan atas dan bawah, baik rok atau celana [seluar] panjang) sebab firman Allah SWT: “Dan hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Huruf “min” pada frase “min jalâbîbihinna” berfungsi untuk menjelaskan (li al-bayân), bukan li al-tab’îdl (menunjukkan arti sebagian). Oleh karena itu, maksud ayat itu adalah, "hendaklah para wanita itu mengulurkan mula’ah (kain panjang tak berjahit) atau milhafah (semacam selimut) hingga menjulur ke bawah (irkha’). Sebab diriwayatkan dari Ibn Umar ra yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mengulurkan pakaian karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya di hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimanakah wanita dengan ujung pakaian yang dibuatnya?” Rasulullah Saw menjawab: “Hendaklah diulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian telapak kakinya terbuka?” Maka jawab Nabi Saw: “Jika demikian perpanjanglah sampai satu hasta dan jangan ditambah.” [HR. Jama’ah]. Hadits ini menjelaskan bahwa jilbab diulurkan kebawah sampai menutup kedua kakinya. Meskipun kedua kakinya tertutup dengan kaus kaki atau sepatu, maka ia belum disebut irkha’ (mengulurkan) jilbab. Sebab, yang dituntut oleh syari’at adalah irkha’ (mengulurkan jilbab) hingga ke bawah kedua kaki, bukan sekedar menutup kedua mata kaki.
2. Bukanlah pakaian tipis sehingga warna kulit dan lekuk tubuhnya tampak. Dari Usamah bin Said ra: Rasulullah Saw pernah memberikan kain qibthi (sejenis kain tipis). Kain ini telah beliau terima sebagai hadiah dari Dahtah al-Kalabi tetapi kemudian kain tersebut akan aku berikan kepada istriku, maka tegur Rasulullah kepadaku: “Mengapa tidak mau pakai saja kain qibthi itu?” Saya menjawab: “Ya Rasulullah, kain itu telah saya berikan kepada istriku.” Maka sabda Rasulullah: “Suruhlah dia mengenakan pula baju di bagian dalamnya (kain tipis itu) karena aku khawatir nampak lekuk-lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad]. Dan diriwayatkan pula dari ‘Aisyah ra [HR. Abu Dawud].
3. Bukanlah pakaian yang menyerupai laki-laki (seperti celana (seluar) panjang), tetapi bila sebagai tsaub/pakaian adalah boleh. Sebagai pakaian dalam, celana panjang tersebut panjangnya hendaklah lebih pendek daripada jilbab itu sendiri. “Rasulullah melaknat laki-laki yang berpakaian seperti wanita dan melaknat wanita yang berpakaian seperti pakaian laki-laki.” [HR. Abu Dawud].
4. Tidak memakai wangi-wangian yang sampai menyebarkan bau yang dapat menarik perhatian laki-laki. Sabda Rasul Saw: “Siapa saja wanita yang memakai wewangian kemudian berjalan melewati suatu kaum dengan maksud agar mereka mencium harumnya, maka ia telah berzina.” [HR. Nasa’i, Ibn Hibban, dan Ibn Khuzaimah].
Pakaian Tsaub (Pakaian Dalam)
Sedangkan kewajiban mengenakan pakaian tsaub (pakaian dalam, pakaian sehari-hari ketika di rumah yang tidak ada laki-laki asingnya) dapat dipahami berdasarkan pengertian dalalatul isyarah bahwa setelah dilepaskannya jilbab/pakaian luar bukan berarti wanita tua tersebut tanpa busana sama sekali. [v]
Khatimah
Dengan demikian telah jelas bahwa syari’at berjilbab adalah wajib bagi kaum Muslimah sejak zaman Nabi Saw sampai sekarang. Telah jelas juga bahwa hukum wajib berlaku dimanapun kita berada, sehingga tidak ada alasan apapun bagi kaum Muslimah untuk melepas khimar maupun jilbabnya ketika berada di kehi [i] Al-Mubadda’, jld. 1, hal. 359; Kasyf al-Qanâ’, jld. 1, hal. 263. [ii] Imam ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, jld. 18, hal. 118. [iii] Imam an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, jld. 3, hal. 143. [iv] Imam Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsir, jld. 2, hal. 336. [v] Imam Muhammad Abu Dzahrah dalam kitab Ushulul Fiqh, hal. 164-147, Syaikh Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh, hal. 143-153, dan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab asy-Syakhshiyah Islamiyah, jld. 3, hal. 178-179.
 
 
 

No comments:

Post a Comment